Tridarma Ilmu Tanah 2
24 May 2022Clay dan Forensik
24 May 2022Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) mendukung peran perempuan untuk berkiprah lebih luas sebagai ilmuwan di bidang ilmu tanah. Demikian disampaikan Ketua Umum HITI, Prof. Budi Mulyanto, pada acara pelantikan Pengurus Pusat HITI periode 2019—2023 yang digelar Sabtu (7/8/2021) pagi tadi. Menurut Budi, informasi kiprah perempuan sebagai ilmuwan di Indonesia menjadi penting bagi organisasi dunia seperti United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
“Di Indonesia sebetulnya isu bias gender tidak menjadi persoalan penting seperti di barat, tetapi dunia membutuhkan data yang berkaitan dengan indeks kesetaraan gender,” kata Budi. Menurut Guru Besar Ilmu Tanah di Universitas Andalas, Dian Fiantis, publikasi UNESCO menyebut partisipasi perempuan sebagai ilmuwan di dunia berkisar 8—63%. “Angka rata-ratanya 30%. Persentase paling rendah di Ethiopia dan terbesar di Bolivia,” kata Dian.
Persentase Bolivia melebihi proporsi ilmuwan perempuan di Perancis yang hanya 26%. Namun, data tersebut belum menyertakan jumlah ilmuwan perempuan di Indonesia. Terkait hal tersebut, Dian berupaya menggali data informasi kiprah perempuan dalam disiplin ilmu tanah. “Berdasarkan sensus penduduk 2020, proporsi perempuan Indonesia 49,42% sehingga dapat dimaknai seimbang dengan pria. Kita ingin tahu bagaimana dengan kiprah perempuannya dalam disiplin ilmu tanah,” kata Dian.
Riset Dian mengungkap pada kondisi saat ini jumlah doktor perempuan yang menjadi dosen di program studi ilmu tanah baru 16%, sementara untuk profesor baru 3%. Demikian pula jumlah dosen perempuan ilmu tanah baru 30—35%, kecuali di Universitas Andalas dan Universitas Padjajaran yang jumlah pengajar perempuan melebihi laki-laki. “Memang masih rendah kiprahnya, tetapi di masa mendatang ada harapan karena data-data mahasiswa ilmu tanah perempuan justeru sebaliknya,” kata Dian.
Sepanjang 2011—2020 jumlah mahasiswa ilmu tanah di 27 universitas setiap tahun mengalami tren peningkatan dari 40 orang menjadi 60 orang. Jumlah perempuan hampir 50%, tetapi beberapa universitas seperti Unibraw, Gadjah Mada, IPB jumlah mahasiswa perempuan mencapai 70%. Menurut Budi, masih rendahnya kiprah ilmuwan ilmu tanah perempuan di Indonesia di masa lalu bukan karena kendala kebijakan, tetapi karena tantangan pekerjaan.
“Bias gender di Indonesia bukan sebuah problem bagi Indonesia. Kita punya akar sejarah yang panjang peran perempuan sebagai pemimpin. Sebut saja Ratu Sima, Cut Nyak Dien, hingga Malahayati,” kata Budi. Tantangan pekerjaan di masa lalu bagi ilmuwan ilmu tanah adalah survei lahan ke tengah hutan atau menggali profil tanah. Perempuan di masa itu paling hanya berperan di bidang laboratorium atau kesuburan.
Di masa sekarang pekerjaan itu bergeser karena ruang lingkup ilmu tanah menjadi lebih luas. “Sekarang berkembang pada pekerjaan yang netral gender. Contohnya manajemen pemanfaatan lahan yang lebih luas hingga ke pemetaan digital dan artifisial intelligent,” kata Budi. Budi juga menjelaskan, undang-undang yang berkaitan dengan tanah juga sudah lama bebas dari bias gender. “Di Indonesia hak atas tanah bagi laki-laki dan perempuan setara. Bahkan ada hukum adat di Indonesia yang memberi penguasaan tanah lebih besar kepada perempuan,” kata Budi. (Destika Cahyana)