Undangan Pra-Kongres dan Kongres HITI ke XII
19 July 2019Clay dan Asal Usul Kehidupan
4 August 2021Konsep tanah bagi penduduk Papua yang tergolong Bangsa Melanisia sangat unik. Orang di luar Bangsa Melanisia mungkin agak kesulitan memahaminya. Bangsa Melanesia adalah sebutan untuk penduduk asli yang mendiami gugus kepulauan yang memanjang dari kepulauan Nusa Tenggara Timur, Pulau Papua di wilayah Indonesia, Pulau Papua yang menjadi wilayah Papua New Guinea dan lalu ke timur sampai Pasifik bagian barat, serta utara dan timur laut Australia.
Melanisia berasal dari Bahasa Yunani yang artinya ‘pulau hitam’ karena penduduk asli kepulauan tersebut berkulit hitam. Menurut Agustinus Wibowo, jurnalis Kompas, orang di luar Papua mungkin melihat Bumi Papua sebagai tanah yang luas, liar, dan berupa rimba belantara sebagai tanah kosong tanpa manusia. Namun, semua tanah itu sebenarnya ada pemiliknya, sekosong, dan seliar apapun kelihatannya.
Pemilik tanah bukanlah individu perorangan, tetapi suku-suku yang bertebaran di seluruh pelosok negeri. Dalam konsep Bangsa Melanisia, tanah hanya bisa dimiliki oleh suku, bukan oleh pribadi-pribadi sehingga tanah tidak mungkin diperjualbelikan. Tanah hanya mungkin disewakan dengan persetujuan semua anggota suku (Wibowo, 2021). Tanah milik suku itu disebut tanah adat yang memiliki nilai sangat penting. Di tanah adat itu mereka berburu dan berladang.
Di tanah adat juga para leluhur dimakamkan sehingga tanah adat wajib dibela semua anggota suku meskipun harus mengorbankan nyawa. Tanah adat juga keramat karena ada tempat-tempat suci yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Bagi Bangsa Melanisia, tanah seperti juga tanah negara, sehingga tanah adat juga memiliki garis batas. Garis batas itu tidak boleh sembarangan dilanggar oleh orang luar.
Urusan garis batas tanah adat sangat serius bagi Bangsa Melanisia. Contohnya Suku Dani yang menghuni Lembah Baliem di Papua membangun barisan menara pengawas dari kayu setinggi 10 m di perbatasan tanah adat masing-masing. Setiap pria anggota Suku Dani bergantian berjaga di puncak menara untuk mengawasi pelanggaran batas wilayah oleh suku lain. Bagi penduduk setempat, di dalam benak mereka tergambar jelas peta mental.
Peta itu menggambarkan sungai ini milik suku apa, pohon besar ini ada di tanah siapa, bukit dan gunung itu kepunyaan siapa, danau itu milik siapa. Saat bepergian atau berburu, mereka sangat berhati-hati agar tidak menginjak tanah milik suku lain. Mereka lebih rela memutar atau memilih jalan yang lebih jauh dan sulit ketimbang melewati jalan pintas yang melanggar batas milik suku lain.
Musababnya, pelanggaran akibat melanggar batas dapat berakibat serius. Dari perkelahian kecil, penyiksaan, hingga pembunuhan, bahkan perang suku. Bila itu terjadi di pedalaman, maka hukum positif negara tidak dapat memantau, bahkan seringkali menjadi diabaikan karena hukum adat menjadi lebih kuat. (Destika Cahyana) Sumber: Kompas, Senin, 26 Juli 2021 Sumber Foto: google earth