
Dual track kebijakan demi terwujudnya swasembada pangan
19 April 2025
HITI dan Universitas Sriwijaya Gaungkan Semangat Keberlanjutan dan Ketahanan Iklim di Hari Bumi 2025
27 April 2025Oleh Husnain PhD *)
Jakarta (ANTARA) – Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Peribahasa itu sepertinya dapat menggambarkan upaya manusia mencetak sawah dari generasi ke generasi di setiap zaman.
Cetak sawah merupakan investasi jangka panjang manusia untuk menopang keberlanjutan peradaban spesies Homo sapiens yang sangat bergantung pada padi. Muthayya et al (2014) pada jurnal Annals of the New York Academy of Sciences melaporkan bahwa lebih dari 50 persen populasi manusia di dunia mengandalkan padi sebagai makanan pokok.
Sekitar 50 persen produksi dan konsumsi padi di dunia berada di China dan India sebagai negara yang paling padat penduduknya. Namun, konsumsi padi tertinggi adalah negara-negara di Asia termasuk Indonesia sehingga ketergantungan terhadap padi lebih tinggi. Tingkat konsumsi padi juga semakin bertambah di luar Benua Asia.
Padi memang tanaman semusim, umurnya hanya 90-150 hari tergantung varietas. Namun, untuk memperoleh keuntungan secara berkelanjutan dari sawah yang baru dicetak dibutuhkan waktu.
Jika kita menanam pohon buah atau pohon kayu, keuntungan dari panen sengon baru bisa dinikmati setelah 5 tahun, pohon jati genjah setelah 7 tahun, sedang jati alam baru dipanen setelah belasan hingga puluhan tahun.
Sawah yang baru dicetak 1-3 tahun asal lahan kering maupun dari lahan basah produksinya hanya sepertiga hingga setengah dari sawah yang telah stabil. Dengan kata lain pada tiga tahun pertama sudah pasti hasil panen merugi sehingga biaya yang dikeluarkan harus dianggap biaya investasi seperti layaknya menanam pohon kayu.
Demikian pula sawah yang dicetak 3-10 tahun pertama umumnya produksi hanya 50-70 persen dari produksi sawah yang telah stabil. Sifat kimia dan fisika tanah pada lahan sawah baru stabil setelah belasan tahun bahkan puluhan tahun digunakan.
Hal itu karena padi membutuhkan lumpur dan lapisan bajak agar kondisi tanahnya memungkinkan padi tumbuh optimal. Di lahan kering proses pelumpuran dan pembentukan lapisan bajak dari tanah yang semula porous menjadi non-porous membutuhkan waktu panjang karena tidak bisa instan.
Untuk mengubah tanah yang gampang kering menjadi tanah yang mampu menahan air bukan perkara gampang karena melibatkan serangkaian proses fisika, kimia, dan biologi yang kompleks.
Jenis mikroba yang terlibat dalam berbagai reaksi biokimia yang semula adalah mikroba aerob (membutuhkan oksigen) berubah drastis jenisnya menjadi mikroba anaerob (tidak butuh oksigen). Demikian pula bentuk-bentuk kation dan anion di kondisi yang semula oksidatif (kering) berubah menjadi kation dan anion di kondisi reduktif (basah).
Proses ini semakin rumit karena setiap fase pertumbuhan padi membutuhkan ketersediaan air yang berbeda-beda. Dampaknya reaksi oksidasi-reduksi di dalam tanah terjadi begitu dinamis mengikuti pola kering-basah di dalam tanah.
Demikian pula sawah yang berasal dari lahan rawa. Lahan yang semula hampir selalu tergenang air harus dikeluarkan dari lahan agar sesuai dengan kebutuhan padi yang membutuhkan suasana kering basah.
Lahan harus dibuat tanggul agar air dari luar sawah tidak dapat masuk dan air dari dalam sawah dapat dibuang. Hal itu membuat senyawa yang semula aman dalam kondisi basah, seperti pirit, menjadi berbahaya dalam kondisi hampir kering atau kering karena menyebabkan kemasaman tanah hingga pH di bawah 4.
Proses stabilisasi reaksi fisika, kimia, dan biologi di sawah asal lahan rawa ini membutuhkan waktu yang lebih panjang dari sawah di lahan kering. Hal itu karena proses mencuci pirit dari kawasan sawah ke luar kawasan sawah membutuhkan banyak volume air sehingga membutuhkan belasan hingga puluhan kali musim hujan untuk mencucinya.
Mekanisme itu yang menjelaskan mengapa banyak penduduk di kawasan transmigrasi di lahan rawa baru sejahtera setelah puluhan tahun atau setelah berganti generasi.
Proses mencetak sawah yang panjang itu hendaknya tidak menjadi penghambat sehingga dianggap haram dilakukan. Belanda saja di tahun 1800-an tetap menanam jati alam di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk mengganti jati yang ditebang untuk kepentingan perang, meskipun sadar jati hanya dapat dipanen belasan hingga puluhan tahun kemudian. Di tanah jajahannya Belanda menyadari jati yang layak tebang semakin langka di hutan yang dekat Sungai Bengawan Solo yang menjadi alat transportasi pengangkutan jati.
Bagi peradaban manusia, mencetak sawah adalah kreatifitas terbaik manusia untuk membuat tanah secara artifisial cocok agar padi berproduksi optimal untuk pangan dirinya dan keturunannya. Hal tersebut mengingatkan pada puisi Iqbal dari India puluhan tahun silam tentang kreatifitas manusia sebagai bentuk cinta dan syukur pada Tuhan.
‘Kau menciptakan tanah liat, aku membuat cawan. Kau ciptakan padang pasir, gunung dan rimba; aku membuat kebun, taman, dan hutan buatan.’
Pada konteks sawah, menurut Dr. Destika Cahyana, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ‘Tuhan menciptakan tanah, air, dan padi, maka manusia membuat sawah.’
Terakhir, bagi pemerintah Indonesia, mencetak sawah baru adalah keniscayaan untuk anak cucu generasi baru Indonesia. Cetak sawah bukan hanya untuk generasi di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka saja.
Cetak sawah saat ini sama dengan misi para raja dan tetua adat di masa silam yang mencetak sawah untuk rakyatnya di masa itu dan pewarisnya saat ini yaitu Bangsa Indonesia.
Para raja dan tetua adat di masa lalu telah mengeluarkan daya dan upaya berupa waktu, harta, keringat, dan darah untuk berinvestasi bagi generasi sekarang. Generasi masa lalu bersakit-sakit dahulu demi generasi sekarang yang menikmati.
Saat ini, generasi sekarang, juga sudah selayaknya berinvestasi untuk anak cucu. Kerugian di tahun-tahun pertama cetak sawah jangan pernah dianggap sebuah kegagalan, tetapi investasi jangka panjang untuk generasi baru.
*) Husnain, PhD adalah Plt. Direktur Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian, Kementerian Pertanian dan Ketua Umum HITI
Sumber artikel: https://www.antaranews.com/berita/4788681/mencetak-dan-merawat-sawah-sebagai-investasi-masa-depan