
Definisi Ilmu Tanah dalam Lensa Geografi
26 August 2025Oleh Wirastuti Widyatmanti; David G. Rossiter; Destika Cahyana*)
Jakarta (ANTARA) – Tanah merupakan salah satu komponen utama yang menopang kehidupan di bumi. Tidak hanya menjadi tempat berpijak, tanah juga berperan penting dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman, menyimpan air, serta menjadi habitat bagi berbagai organisme.
Lebih dari itu, tanah yang sehat menjadi fondasi ketahanan pangan, karena kualitas dan ketersediaannya menentukan produktivitas pertanian.
Pemahaman terhadap kondisi tanah juga menjadi dasar dalam memprediksi ketersediaan pangan, baik untuk masa kini maupun masa mendatang, sehingga penguatan fungsi tanah yang lebih luas dan berkelanjutan menjadi kunci bagi keberlangsungan hidup manusia.
Pada awal permulaan sains modern, tanah lebih banyak dikaji untuk kepentingan media tanam sehingga diteliti untuk mendukung sektor pertanian.
Di masa tersebut para ilmuwan seperti ahli geologi, ahli kimia, ahli fisika, dan ahli biologi mengarahkan penelitian di bidang ilmu tanah untuk meningkatkan produktifitas tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan.
Seiring berjalannya waktu, hasil penelitian demi penelitian mengungkap bahwa peran tanah lebih luas dan kompleks karena tanah juga menjadi tempat penyimpan air lingkungan, penyaring polutan dan limbah, pengatur siklus karbon, dan tentu penentu kesehatan ekosistem secara keseluruhan.
Perkembangan keilmuan dalam satu dekade terakhir menunjukkan bahwa tanah berperan penting sebagai penyerap karbon alami melalui proses penyimpanan bahan organik.
Dengan pengelolaan yang baik, tanah dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan menahan pelepasan karbon ke atmosfer.
Praktik seperti konservasi tanah, agroforestri, dan pertanian berkelanjutan meningkatkan kapasitas tanah dalam menyimpan karbon. Oleh karena itu, pengembangan konsep ilmu tanah menjadi penting untuk diperkuat sebagai ilmu bersifat yang multi-disiplin, multi-skala, dan multi-implementasi.
Definisi baru ilmu tanah di tingkat global
Berdasarkan perkembangan ilmu dan tuntutan baru terkait fungsi tanah tesebut, pada Januari 2025, dua ilmuwan yaitu Alfred E. Hartemink dari Department of Soil & Environmental Sciences, University of Wisconsin-Madison, Amerika, dan Alex B McBratney dari Sydney Institute of Agriculture & School of Life & Environmental Sciences, The University of Sydney, Australia menawarkan definisi baru untuk ilmu tanah di Jurnal Soil Security.
Keduanya mendefinisikan ilmu tanah sebagai: “Studi tentang tanah di Bumi dan planet-planet lain, dengan menggunakan teori dan pengetahuan yang terus berkembang, untuk memahami peran tanah dalam menopang fungsi ekosistem, mengatasi tantangan lingkungan, dan mendukung umat manusia.”
Definisi tersebut menggeser definisi ilmu tanah sebagai ilmu yang biasa dikaji untuk mendukung dunia pertanian, menjadi ilmu untuk menopang ekosistem, lingkungan, dan manusia.
Dua ilmuwan lain yaitu Teamrat Afewerki Ghezzehei dan Asmeret Asefaw Berhe dari Life and Environmental Sciences, University of California Merced, Amerika merespon usulan Hartemink dan McBratney dengan menekankan kebutuhan masyarakat saat ini dan masa yang akan datang.
Keduanya di Jurnal Soil Science Society Amerika mengusulkan definisi ilmu tanah sebagai “multidisiplin ilmu alam yang mempelajari lapisan permukaan bumi yang porous meliputi pembentukannya, komposisinya, sifat-sifatnya, proses, dan evolusinya pada berbagai skala.”
Kemudian bagaimana pergeseran definisi tanah ini berdampak bagi ruang implementasi tanah di Indonesia?
Pendekatan geografis
Di Indonesia, dimana negara ini merupakan kepulauan dengan kondisi geologi, iklim, laut, dan aktivitas vulkanik yang sangat beragam dari Sabang hingga Merauke, keterlibatan aspek geografis dalam memperluas penjelasan ilmu tanah menjadi sangat penting.
Variasi ini mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, sehingga pendekatan yang seragam tidak dapat menggambarkan kompleksitasnya.
Dengan mempertimbangkan faktor geografis, definisi tanah akan lebih kontekstual dan sesuai dengan karakteristik wilayah. Hal ini juga mendukung pengelolaan sumber daya tanah yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perbedaan regional.
Pada konteks ini, penulis yang bertugas di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terpanggil untuk berkontribusi pada polemik perkembangan dunia ilmu tanah dunia dengan menggandeng David G Rossiter untuk mempublikasikan hasil kajian mendalam di Jurnal Soil Security.
Rossiter adalah peneliti ilmu tanah di ISRIC-World Soil Information, Wageningen, Belanda dan di Section of Soil & Crop Sciences, New York State College of Agriculture, Cornell University, Amerika.
Penulis mengajak publik untuk melihat tanah dari sudut pandang geografi. Tanah tidak hanya penting karena sifatnya, tetapi juga karena lokasinya di ruang dan waktu.
Dengan pendekatan ini, diharapkan pengambil kebijakan dan masyarakat dapat memahami dan mengelola tanah secara lebih bijak berbasis ruang dan waktu di tengah krisis lingkungan dan perubahan iklim yang semakin nyata.
Tanah adalah sistem hidup yang terus berubah, terbentuk melalui proses panjang yang melibatkan batuan induk, iklim, organisme, topografi, dan waktu.
Perubahan tanah terjadi setiap saat, baik karena proses alami seperti erosi dan sedimentasi, maupun akibat aktivitas manusia seperti pertanian intensif, urbanisasi, dan deforestasi.
Keragaman tanah di setiap lokasi dikenal dengan istilah variabilitas spasial. Misalnya, tanah di lereng bukit cenderung tipis dan miskin hara karena erosi oleh gerusan air yang jatuh menimpanya dan mengalir di atasnya.
Sedangkan tanah di dataran rendah lebih subur karena menjadi lokasi berkumpulnya sedimen. Memahami pola variasi ini penting agar manusia dapat mengelola lahan sesuai kemampuan alaminya, bukan memaksakan penggunaan yang justru mempercepat kerusakan lingkungan.
Penulis juga menekankan tiga prinsip geografi yang membantu menjelaskan pola persebaran tanah. Pertama, Hukum Tobler yang menyatakan bahwa lokasi yang berdekatan cenderung memiliki sifat tanah serupa. Prinsip ini menjadi dasar prediksi sifat tanah di wilayah yang belum disurvei.
Kedua, prinsip ketidakstabilan konteks yang menegaskan bahwa sifat tanah dapat berubah bergantung kondisi lingkungan sehingga model atau metode pengelolaan tanah tidak selalu berlaku di semua tempat.
Ketiga, prinsip kesamaan lingkungan yang menyatakan bahwa lokasi dengan kondisi geografis mirip, seperti iklim, bentuk lahan, atau vegetasi, kemungkinan besar memiliki sifat tanah yang sama.
Pemahaman ini membuat para ilmuwan dapat memetakan tanah secara lebih akurat dengan bantuan teknologi digital dan kecerdasan buatan, sehingga data tanah bisa dimanfaatkan untuk perencanaan yang lebih tepat.
Konsep relevansi
Sebetulnya konsep klasik lain yang masih relevan adalah catena. Konsep tersebut menjelaskan pola berulang jenis tanah sepanjang lereng bukit. Misalnya, tanah di bagian puncak bukit biasanya dangkal dan berbatu, sementara bagian bawah lebih kaya bahan organik dan air karena menjadi titik akumulasi material.
Pengetahuan ini membantu perencana wilayah dan petani menetapkan peruntukan lahan yang tepat. Dengan mengenali pola tanah seperti ini, masyarakat dapat mengoptimalkan produksi pertanian sekaligus mencegah kerusakan lingkungan seperti longsor dan erosi.
Perkembangan teknologi juga telah mengubah cara ilmuwan mengenali tanah. Kini, pemetaan tanah tidak lagi hanya mengandalkan pengamatan lapangan, tetapi juga data dari satelit, drone, dan sistem informasi geografis (GIS).
Penginderaan jauh dapat memberi informasi tentang kelembapan tanah, kandungan bahan organik, bahkan mendeteksi tanah gambut atau tanah sulfat masam.
GPS membantu penentuan lokasi sampel tanah dengan presisi tinggi, sementara pemetaan tanah digital memanfaatkan kecerdasan buatan dan big data untuk memprediksi sifat tanah di wilayah luas.
Dengan teknologi ini, peta tanah dapat dibuat lebih detail, membantu petani, perencana kota, hingga pemerintah merumuskan kebijakan berbasis data yang akurat.
Dengan berbagai alasan di atas, penulis kemudian menawarkan definisi baru ilmu tanah dengan perspektif geografi.
“Ilmu tanah adalah studi tentang sistem tanah yang bervariasi secara spasial dan dinamis secara temporal di Bumi dan planet lain, dengan memanfaatkan teori, prinsip geografi, dan teknologi canggih untuk memahami pembentukan, distribusi, sifat, dan fungsinya.”
Definisi baru tersebut mengajak masyarakat melihat tanah bukan hanya sebagai media tanam, tetapi sebagai bagian integral dari sistem bumi yang kompleks. Dengan sudut pandang ini, pengelolaan tanah dapat dilakukan secara lebih berkelanjutan, mendukung mitigasi perubahan iklim, serta meningkatkan kesejahteraan manusia.
Bagi Indonesia, pemahaman baru ini sangat penting. Negara kepulauan tropis memiliki keragaman tanah luar biasa, mulai dari tanah vulkanik yang subur hingga tanah gambut dan tanah sulfat masam di lahan rawa.
Di sisi lain Indonesia juga memiliki tantangan beragam seperti degradasi tanah, erosi, dan konversi lahan yang terus mengancam ketahanan pangan nasional.
Dengan mengintegrasikan perspektif geografi dan teknologi, pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih efektif, seperti zonasi pertanian berbasis potensi tanah, pengelolaan daerah aliran sungai untuk mencegah banjir dan longsor, pemulihan lahan kritis dengan pendekatan ilmiah, serta perencanaan kota yang memperhatikan daya dukung lingkungan.
Kolaborasi
Tentu dengan perkembangan tersebut kolaborasi lintas disiplin menjadi semakin penting mulai dari ahli geografi, ekologi, hingga kebijakan publik.
Partisipasi masyarakat dapat menjadi faktor penting dengan pemetaan tanah berbasis warga atau citizen science yang melibatkan pengetahuan lokal.
Di level global ilmu tanah tidak hanya berkembang di fakultas pertanian, namun juga dipelajari di fakultas-fakultas lingkungan, geografi, dan teknik dengan berbagai pendekatan.
Di sisi lain, di Indonesia para ahli tanah dari fakultas pertanian di berbagai perguruan tinggi juga meningkatkan semakin memperkaya keahliannya dengan menjadi ahli lingkungan yang diakui kepakarannya oleh banyak pihak.
Kolaborasi antar-pelaku keilmuan bidang tanah menjadi dasar kuat menyuarakan pentingnya aspek tanah untuk menjadi dasar pengambilan kebijakan di berbagai bidang termasuk ketanahan pangan, ketahanan air, dan yang paling mendesak, mitigasi perubahan iklim.
Dengan pendekatan ini, ilmu tanah dapat lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari dan membantu masyarakat memahami pentingnya menjaga sumber daya ini.
Melihat tanah sebagai bagian dari ekosistem yang dinamis membuat masyarakat lebih menghargai perannya dalam menjaga keseimbangan bumi.
Pemahaman baru ini memberi harapan bahwa dengan pengelolaan berbasis sains, Indonesia dan dunia dapat menghadapi krisis pangan dan perubahan iklim secara lebih tangguh.
*) Penulis adalah Dosen di Universitas Gadjah Mada; Universitas Cornell, Amerika; dan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sumber artikel: https://www.antaranews.com/berita/5077905/ilmu-tanah-dalam-lensa-geografi-bagi-lingkungan-dan-manusia