
Desealing Soil untuk Mengembalikan Napas Kota
17 November 2025
Tanah Sehat, Kota Sehat
5 December 2025Oleh Dian Fiantis, Budiman Minasny, Frisa Irawan Ginting
Siklon Senyar menghantam daerah Sumatra (terutama bagian utara) dan sejumlah negara ASEAN, pekan lalu.
Badai ini memicu banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan sejumlah wilayah, menewaskan ratusan orang, dan memaksa ribuan keluarga mengungsi. Rumah-rumah terendam hingga atap, bahkan sampai hanyut, sementara sungai berubah menjadi arus ganas.
Peristiwa ini bukan sekadar “bencana alam” yang muncul akibat hujan ekstrem. Faktor cuaca hanyalah setengah dari cerita. Tragedi sesungguhnya adalah cuaca ekstrem bertabrakan dengan ekosistem yang sudah rusak. Hasilnya adalah bencana mematikan.
Ketika hutan ditebang dan tanah terdegradasi, ekosistem kehilangan kemampuan alaminya untuk menjadi ‘spons’. Air hujan yang dulu meresap perlahan ke lantai hutan, kini meluber di permukaan, menjadi limpasan deras yang menerjang rumah-rumah warga.
Inilah sebabnya banjir di Sumatra perlu dipahami bukan hanya sebagai fenomena hidrometeorologis, tetapi sebagai tanda runtuhnya ekosistem: siklus tanah–hutan–air melemah, diperparah deforestasi dan alih fungsi lahan selama puluhan tahun.
Tanah sehat = Mesin sunyi penyerap air
Tanah yang sehat bekerja seperti spons. Ia kaya bahan organik, penuh pori, dan saluran dari akar dan organisme. Tanah yang terjaga kesehatannya bisa menyerap air dalam volume yang sangat besar.
Hutan bukan sekadar sekumpulan pohon. Ia adalah sistem hidrologi. Fungsinya terasa dari bawah tanah hingga ke atmosfer.
Akar tanaman membuat jalur bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Kanopi menahan sebagian hujan dan memperlambat jatuhnya air ke tanah. Serasah daun melindungi permukaan tanah dari erosi.
Pohon menyerap air tanah dan melepaskannya kembali ke udara melalui transpirasi, yang turut mengatur kelembapan dan pola hujan.
Ketika hutan ditebang, baik untuk perkebunan, pertambangan, atau ekspansi lahan lainnya, kemampuan tanah itu runtuh.
Akar yang dulu mengikat tanah membusuk. Pelindung tanah hilang. Serasah daun yang berfungsi melindungi permukaan tanah tidak ada lagi. Bahan organik menipis, tanah menjadi padat, terkikis, dan rusak. Struktur sponsnya kolaps.
Akibatnya, lanskap kehilangan kemampuannya untuk menyerap air. Limpasan meningkat. Lereng di kawasan perbukitan dan pegunungan menjadi labil.
Sementara sungai menerima lonjakan air dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Ketika sungai tak sanggup menampung, air akhirnya meluap, hingga terjadilah arus besar dari hulu.
Kasus di Sumatra
Di Sumatra Utara, Batang Toru—sungai besar di dataran tinggi Tapanuli Selatan—mengaliri salah satu kawasan pegunungan terkaya akan keanekaragaman hayati.
Daerah aliran sungainya (DAS) menyediakan air untuk irigasi, konsumsi, perikanan, dan mikrohidro.
Hutan hujan tropis yang mengelilinginya adalah blok hutan primer terakhir di kawasan tersebut, penyangga alami terhadap banjir dan longsor.
Namun ketahanan ini kini menghilang dengan cepat. Zona utara Batang Toru pada ketinggian 300-400 meter telah dibuka untuk tambang sejak 2010. Pembukaan hutan untuk kebun sawit masih terjadi hingga 2024.
Analisis satelit terbaru kami menunjukkan sekitar 1.550 hektare hutan kehilangan tutupan vegetasi, menyisakan tanah terbuka yang mudah tergerus di DAS Batang Toru. Lereng yang terdegradasi seperti ini tak lagi mampu menyerap air hujan atau menstabilkan DAS. Masyarakat di hilir sungai menjadi semakin rentan ketika badai ekstrem datang.
Di Sumatra Barat, sepekan sebelumnya, hujan juga tak henti mengguyur Kota Padang. Intensitasnya melonjak tajam. Curah hujan harian yang awalnya 37 mm pada 19 November, menjadi 145 mm pada 27 November 2025, dengan akumulasi mencapai lebih 770 mm. Tanah kemudian menyerah, tak sanggup menampung air lagi di jejaring pori-porinya.
Estimasinya, seluas 152 hektare hutan sudah hilang di hulu Batang Kuranji dan Batang Aie Dingin, Kota Padang. Akibatnya, seluruh siklus air terganggu. Pengisian air tanah menurun, aliran permukaan meningkat, dan sungai berubah “galak” dengan debit yang melonjak, volumenya melimpah sehingga memicu banjir.
Saat hujan turun, air berwarna bening. Tetapi ketika banjir datang, warnanya berubah menjadi kuning kecoklatan bahkan kehitaman, pertanda tanah yang sudah terkisis ikut terseret arus.
Empat hari setelah banjir bandang, aliran Batang Kuranji (19,68 km) dan Batang Aie Dingin (14,27 km) di kota Padang masih berwarna kuning kecoklatan dan mengalir deras ke Pantai Padang. Masyarakat hilir menanggung akibatnya, dan ekosistem pesisir semakin tersedak sedimen.

(Citra Sentinel-2 merekam aliran sungai penyebab banjir bandang di kota Padang)
Empat sungai di Kota Padang berhulu di Pegunungan Bukit Barisan. Di sana, tampak permukaan tanah yang telah terkelupas sehingga mudah terhanyut saat hujan deras.
Adaptasi bencana berbasis ekosistem
Kita sering melihat deforestasi dan degradasi tanah sebagai persoalan lokal. Namun besarnya dampak menunjukkan bahwa masalah ini menimbulkan konsekuensi nasional. Dengan hujan ekstrem yang makin sering terjadi, setiap DAS rusak menjadi pengali risiko.
Di daerah dengan tanah sehat dan hutan utuh, badai tetap bisa menimbulkan kerusakan—tetapi ekosistem bisa menahan sebagian dampaknya. Di daerah yang kritis, badai yang sama bisa berubah menjadi bencana besar.
Artinya, strategi ketahanan iklim Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan tanggul, bendungan, atau respons darurat. Kita harus membangun kembali infrastruktur ekologis yang mengatur aliran air.
Menjaga hubungan tanah–hutan–air adalah kebutuhan dasar untuk keselamatan kita saat ini dan masa depan.
Oleh karenanya, kita harus melindungi hutan yang tersisa, khususnya DAS hulu dan gambut; memulihkan tanah terdegradasi dengan menambah bahan organik, agroforestri, dan praktik pertanian berkelanjutan. Kita pun perlu memasukkan indikator kesehatan tanah dan tutupan lahan dalam perencanaan risiko banjir.
Adaptasi berbasis ekosistem, mulai dari reforestasi hingga penanaman vegetasi di bantaran sungai, harus berjalan sejajar dengan solusi rekayasa.
Jika kita hanya bereaksi terhadap bencana, tanpa memulihkan penyangga ekologisnya, banjir di masa depan akan semakin besar dan semakin mematikan.
Cuaca ekstrem sulit dicegah. Tetapi kita bisa meredam dampak bencana mulai dari memulihkan hutan dan memperbaiki kondisi tanah tempat kita berpijak. Ini agar badai selanjutnya tidak harus menjadi tragedi berikutnya.
Sumber artikel:




