
Badai Siklon Tak Harus Jadi Tragedi Berulang Jika Hutan Tidak Terus Dibabat
4 December 2025
Tanah dan perubahan iklim
5 December 2025Oleh: Anne Nurbaity
Dalam hiruk-pikuk pembangunan kota, perhatian publik sering tersedot ke beton, gedung, drainase, dan teknologi. Namun, fondasi paling sunyi dari kesehatan kota justru berada di bawah kaki kita: tanah. Hari Tanah Sedunia 2025 menjadi momentum untuk melihat kembali bagaimana kesehatan tanah menentukan kualitas hidup, dari pangan hingga udara yang kita hirup.
Hari Tanah Sedunia (World Soil Day) 2025 yang diperingati setiap 5 Desember mengangkat tema “Tanah Sehat untuk Kota Sehat (Healthy Soils for Healthy Cities)”. Pesan utamanya sederhana, tetapi mendasar: kesehatan kota sangat bergantung pada kesehatan tanahnya. Tanah yang sehat mendukung produksi pangan, kualitas air, penyerapan karbon, pengaturan iklim mikro, dan keanekaragaman hayati—semua fondasi dasar kehidupan urban. Sebaliknya, tanah yang tertutup beton, terdegradasi, atau tercemar akan melemahkan ekosistem kota dan menurunkan kualitas hidup masyarakatnya.
Di tengah ekspansi kota, penutupan tanah (soil sealing), pencemaran industri, dan alih fungsi lahan menjadi ancaman serius. Oleh karena itu, peringatan Hari Tanah Sedunia menekankan upaya konkret seperti soil de-sealing, pengembangan atap hijau (green roofs), pertanian kota, dan perencanaan tata ruang berkelanjutan. Momentum ini diharapkan mendorong kolaborasi antara pemerintah, peneliti, industri, dan masyarakat untuk memastikan tanah kembali menjadi prioritas dalam pembangunan kota.
Saat berbicara tentang “kota sehat”, fokus publik umumnya tertuju pada fasilitas kesehatan, sanitasi, atau gaya hidup. Pemerintah kota sibuk membangun taman tematik, memperbaiki drainase, dan menghadirkan program kesehatan masyarakat. Namun, ada fondasi yang sering luput: tanah sebagai ekosistem hidup yang menentukan kualitas pangan, air, udara, dan bahkan kondisi psikologis warga. Bila tanah rusak, seluruh ekosistem kota akan melemah.
Perencanaan kota sering memperlakukan tanah sebagai ruang kosong yang dapat ditutup beton, dipadatkan, atau diubah fungsi. Padahal, berbagai persoalan urban—banjir, polusi udara, kekurangan air bersih, pangan tidak sehat, hingga meningkatnya risiko penyakit—banyak berakar pada kualitas tanah yang menurun.
Pertanyaan mendasar jarang diajukan: bagaimana kualitas tanah tempat pangan tumbuh? Tanah sehat menghasilkan tanaman bergizi dan aman dikonsumsi. Tanah tercemar atau miskin unsur hara menghasilkan pangan miskin nutrisi atau bahkan berbahaya. Di sinilah indikator kualitas tanah menjadi penting: kandungan bahan organik, struktur dan agregasi tanah, keanekaragaman hayati mikroba, pH, unsur hara makro dan mikro, tingkat pencemaran, kapasitas menyimpan karbon, hingga kemampuan mendukung vegetasi.
Dalam konteks urban farming, isu ini semakin relevan. Banyak lahan perkotaan berada dekat jalan raya, kawasan industri, atau lahan terlantar yang berpotensi terpapar logam berat. Tanaman dapat menyerap timbal, kadmium, atau residu polutan, dan jika dikonsumsi, menimbulkan risiko kesehatan kronis. Oleh karena itu, pemantauan kualitas tanah perkotaan menjadi keniscayaan.
Pemulihan
Untuk memulihkan tanah perkotaan, berbagai teknik ekologis semakin digunakan: penambahan bahan organik, kompos, mulsa organik, biochar, dan aplikasi pupuk hayati berbasis mikroba. Pendekatan ini tidak hanya memperbaiki struktur tanah tetapi juga meningkatkan ketersediaan hara serta kemampuan tanaman menyerap nutrisi dan air. Mikroba tanah—terutama jamur mikoriza—dapat membantu tanaman tumbuh lebih tahan di lingkungan marjinal dan mengurangi kebutuhan pupuk kimia. Pupuk hayati menjadi solusi ekologis dan sejalan dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap urban farming yang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga meningkatkan kesehatan mental.
Tanah yang sehat mendukung ruang hijau produktif yang berdampak pada kesejahteraan psikologis warga. Taman kota, hutan kota, dan kebun komunitas terbukti menurunkan stres, meningkatkan kreativitas, dan memperkuat interaksi sosial. Aktivitas, seperti berkebun, membuat kompos, dan merawat tanaman menghubungkan warga dengan alam secara langsung.
Tanah yang sehat juga berperan sebagai filter alami. Ia menyerap air hujan, menyaring polutan, dan mengisi ulang akuifer. Ketika tanah tertutup beton, air tidak lagi meresap tetapi berubah menjadi limpasan yang membawa polutan langsung ke sungai memicu banjir, erosi, dan penurunan kualitas air. Begitu pula dengan udara: tanah kaya bahan organik mampu menyimpan karbon dan mendukung vegetasi yang menyerap polusi. Tanah gersang sebaliknya melepas karbon dan menghasilkan debu yang memperburuk kesehatan pernapasan.
Aksi
Pemulihan tanah harus menjadi strategi utama kota modern. Pemerintah daerah perlu memetakan kualitas tanah secara berkala, merestorasi lahan terdegradasi, dan memperluas ruang hijau produktif. Kebijakan tata ruang harus mendorong soil de-sealing, menahan laju penutupan tanah, dan memprioritaskan infiltrasi air. Kota juga dapat mengadopsi teknologi ekologis, seperti penggunaan pupuk hayati, biochar, dan sistem kompos komunitas.
Kesehatan tanah bukan sekadar isu pertanian, tetapi isu kesehatan publik. Tanah sehat berarti pangan lebih aman, air lebih bersih, udara lebih segar, dan ruang hidup lebih nyaman. Tanpa tanah yang sehat, berbagai upaya penghijauan kota hanya akan menjadi dekorasi—tanpa manfaat ekologis nyata.
Pada akhirnya, menjaga tanah berarti menjaga masa depan kota. Hari Tanah Sedunia harus menjadi pengingat bahwa tanah adalah fondasi kehidupan, bukan sekadar ruang yang bisa ditutup beton. Dengan tanah yang sehat, kota dapat menjadi ruang tinggal yang lebih resilien, produktif, dan manusiawi.
Pada akhirnya, tanah yang sehat bukan sekadar isu ekologis, melainkan kebutuhan dasar kota modern. Pemulihan tanah berarti pemulihan kualitas hidup. Setiap perencanaan kota harus menempatkan tanah sebagai penentu masa depan, bukan sebagai sisa ruang pembangunan.
Selamat Hari Tanah Sedunia.***
Sumber Artikel: https://koran.pikiran-rakyat.com/opini/pr-3039837389/tanah-sehat-kota-sehat?page=2
Penulis merupakan anggota HITI dan Dosen Ilmu Tanah Universitas Padjadjaran




